Berlari-lari di jalan, bermain di taman ataupun naik sepeda sekitar
rumah merupakan kegiatan yang sangat normal dan menyenangkan dilakukan anak-anak saat mereka
bermain.
Gambar oleh Gabriella Lee |
Pelakunya pun beragam, dari yang mempunya latar belakang
pendidikan rendah maupun yang malah mempunyai latar belakang sebagai pendidik.
Anak yang lugu, biasanya tidak sadar ataupun takut untuk
melaporkan. Sekarang ini sudah banyak tragedi yang terkuak, media langsung ramai membicarakan. TV banyak
menyiarkan talkshow ataupun wawancara para ahli atau pakar anak untuk membahas
tuntas masalah ini. Facebook, twitter, path, whatsapp ataupun media sosial
lainnya heboh dengan pembahasan kekerasan anak. Mendadak semua bisa menjadi
pakar urusan kekerasan anak dan yang mulai saling tuding siapa yang salah.
Lalu apa hasilnya?
Hingga saat ini, setiap hari kami dapat membaca kasus kekerasan yang
berbeda. Tapi kami belum mendengar berita atau kepastian mengenai perbaikan
nasib anak-anak yang menjadi korban ini ataupun berita bagaimana solusi
dari tragedi ini supaya tidak terjadi lagi. Malah ada kemungkinan perjalanan
hukum dari pelaku atau predator ini mentok dan akhirnya bebas lepas.
Dan akhirnya semua peristiwa ini ibarat trend busana yang akan
muncul heboh lalu bergulir menghilang dan ganti dengan trend fashion
lainnya.
Pemerintah maupun pihak berwenang mungkin terdengar memberikan
pendapat atau masuk TV dan ikutan menghujat, tapi belum ada tindakan kongkrit
yang membuat tragedi ini tidak akan terjadi lagi. Banyak pihak-pihak tertentu yang dulunya tidak peduli, mendadak menjadi ikutan sibuk tampil di media layaknya seorang pahlawan dari anti kekerasan anak.
Sebegitu kejamnyakah kita, membiarkan kekerasan seksual anak terjadi lagi mengalahkan pergantian trend fashion?
Ada Apa Dengan Moral Kita?
Arist Merdeka Sirait di salah satu acara TV mengatakan bahwa sejak
tahun 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak telah mendeklarasikan keadaan
darurat untuk masalah kekerasan anak. Tapi sepertinya memang belum cukup
penting untuk dibicarakan hingga akhir bulan Pebruari 2014 meledak di media saat Pak
Arist datang bersama Polisi dan staff KomNas untuk menyelamatkan anak-anak di
panti Samuel. Sejak itu, mendadak kasus kekerasan anak bermunculan dimana-mana.
Walaupun bukan berita baru, begitulah perlakuan kita terhadap sesama manusia, bagaimana perlakuan kita terhadap mahluk ciptaan Tuhan lainnya?
Selama kami mengikuti dari dekat tragedi kekerasan anak, kami juga
menyaksikan kekerasan terhadap binatang, terutama anjing. Salah satu dari kami
adalah aktivis dan pencinta binatang yang juga sudah berusaha menolong
anjing-anjing korban siksaan. Saat kami datang ke panti Samuel, kami melihat
bagaimana keadaan anjing-anjing yang hidupnya juga tidak kalah mengenaskan dari
anak-anak panti Samuel. Dan ternyata memang sudah menjadi kenyataan bahwa setiap hari
ada saja kekerasan terhadap anjing-anjing baik liar maupun peliharaan di
sekitar rumah tempat tinggal kita. Alasan kekerasanpun tidak
jelas, kadang hanya karena sekedar iseng untuk menyiksa atau membunuh anjing-anjing ini.
Di negara yang mempunyai
perhatian untuk hak asasi (Human Rights) masih termasuk sangat rendah, dapat diperkirakan
bahwa kekerasan terhadap binatang tidak pernah dianggap sebagai masalah
serius. Anak korban kekerasan saja masih bertebaran di mana-mana apalagi hewan,
belum lagi dengan tindakan yang merusak alam yang bisa menjadi pembahasan
panjang sendiri mengenai bagaimana manusia itu mahluk perusak.
Ironis sekali kalau
dipikir-pikir bagaimana negara ini sangat membanggakan penduduknya adalah umat yang religius, tetapi mempunyai kelakuan yang kejam. Ironis sekali, bangsa yang merasa dirinya taat beragama ini,yang dianggap mempunyai moral tinggi dibandingkan negara-negara maju yang (dituduh) penduduknya bersifat individualis, luntur dalam ketaatannya kepada agama, tetapi bertingkah laku kejam dan barbarik. Tetapi mengapa, di
negara-negara yang dihujat tidak beragama itu, yang biasanya adalah negara maju, malah binatang-binatang liar seperti burung, kucing ataupun tupai bisa
terlihat di mana-mana dan bisa berdekatan dengan manusia tanpa merasa takut nasibnya akan berakhir dilemparin batu atau dimasak di kuali?
Bukankah agama mengajarkan bagaimana Tuhan adalah sang pencipta semesta alam
beserta isinya? Ada maksud yang sangat
mulia Tuhan menciptakan mahluk hidup yang beragam ini untuk memberikan keseimbangan dalam kehidupan manusia. Keindahan dan
keajaiban yang Tuhan berikan, sudah layak dan sepantasnya manusia jaga dan hormati seperti
layaknya kita mencintai diri sendiri. Bukankah ini adalah moral dasar yang bisa
dengan mudah ditemukan di negara yang mempunyai penduduk sangat patuh beragama?
Gambar oleh Gabriella Lee (14) |
Bukan berarti negara maju lebih bagus dan bermoral dari kita, tapi yang pasti, kita patut malu bahwa
negara yang membangga-banggakan status negara beragama tapi kekerasan terhadap alam
semesta beserta isinya sangat tidak mencerminkan rasa hormat dan apresiasi terhadap
kemurahan hati Sang Pencipta. Mungkin sebelum kita mencantumkan agama di
KTP, hendaknya kita berpikir apakah kita layak menyatakan kita manusia beragama
di saat kita masih membiarkan atau malah ikutan dalam kekerasan anak, binatang
maupun perusakan alam semesta ini.
Ternyata banyak sekali
masalah di kehidupan kita yang diakibatkan kelakukan keji dari kita sendiri. Sudah saatnya hal ini diubah. Sekarang
ini, gerakan #CarolineHero bersatu dengan KomNas Perlindungan Anak dan Pasukan
Jarik untuk memperjuangkan agar kekerasaan anak bisa dimusnahkan dari kehidupan
kita. Semoga saja hati kita tergerak untuk melakukan sesuatu untuk memperbaiki
secara kongkrit.
Kalau hingga saat ini kita hanya bisa tetap berdiam diri, ada apa dengan moral kita sebagai manusia beragama?
Kalau hingga saat ini kita hanya bisa tetap berdiam diri, ada apa dengan moral kita sebagai manusia beragama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar