Selasa, 20 Mei 2014

illustration by Gabriella Lee Sudyatmiko 14yo


Running around the house, playing in the park, or taking a bike ride down the street are all normal and expected activities for children. But being abducted and tortured, forced to become a beggar, or being used for even more sinister purposes is something that many children face every day. Maybe it sounds a bit farfetched but sadly such situations are not just fables, and instead are harsh realities that exist even in today’s modern world.  The evidence is presented daily in the media, shown in reports by both government and non government organizations, and sometimes we even witness it with our own eyes and ears.
The culprits run the gambit fromstranger to family, non-educated to teacher, poor to rich, religious to faithless.No group is immune or excluded. 
The victims are innocent children that are coerced, forced, threatened or unaware that what is happening to them is wrong and these atrocities often go unreported. 
On occasion the tragedy is exposed, the media immediately crowd in to discuss the news, claiming to be experts on the matter.  Despite the great integrity of many journalist, the networks at their core are after ratings as that drives profit and will stoke fear, create drama, and in the end often confuse their viewers rather than educate and have useful debates.  Then the masses unknowingly pass on their interpretation of this misinformation on Facebook, Twitter, Path, Whatsappand the long list of other social media tools. While the topic has finally garnered the long overdueattention it deserves, we unfortunately bombarded with misdirected blame and anger, becoming so divided that solutions seem unattainable.
So where does that currently leave us?
Nearly every day we can read different cases of violence and child abuse but there is little to no news with regards to bettering the situation or even helping the known victims.  Instead we see accused predators taking a cue from those on trial for corruption, proudly and happily embracing the media attention, laughing and smiling for the cameras.
And now, similar to other trends, our collective attention span has been reached and we are moving on to the next topic.  You could liken us toostriches, just sticking our heads in the sand and pretending like the danger no longer exists.

illustration by Gabriella Lee Sudyatmiko 14 yo
Government and regulatory authorities may still share an opinion or provide the public with a small followup here and there, but no concrete changes are likely without continual pressure from a properly aware and educated population.And sadly, just like any other trend, the tragedy will reoccur and the process will start all over again, children’s lives destroyed by something that was largely preventable.
What's happened to our morality?  Is abuse in our nature?
AristMerdekaSirait recently pointed out that in 2013, his organization, the National Commission for Child Protection declared a state of emergency for the child abuse problem but it wasn’t deemed important enough by those with media influence to get widespread coverage until the end of February 2014 when Mr. Arist arrived with police and staff to rescue children from the Samuel Orphanage. Since then there have been a rash of highly publicized child abuse cases.  In reality cases like these have been happening all along but they have been hidden from the public, not deemed worthy of our attention, just waiting for a slow news day.
Another form of abuse that has not received appropriate attention is violence against animals.
While of late we have collectively followed the tragic cases of child abuse, we have overlooked violence against animals, especially dogs.  There is often a strong correlation between the abuse of animals and eventual violence against humans.  Samuel Orphanage had many neglected dogs on the property and this should have been a sign of what was happening to the children.  The dogs were caged, chained, malnourished, and sickly.  Yes, these are animals, but of what benefit or reason should they be tortured and treated so cruelly?  What example are we setting by participating or turning a blind eye?
Indonesia has a wonderful heritage and a very proud people with a vibrant culture but we need to take a long, hard lookat ourselves and recognize our own shortcomings.  As a people and country, we deem ourselves religious and dedicated to our Creator but we abuse ourselves, others, and the nature around us. We disrespect Him by mistreating the very gifts that He has provided.  We shouldn’t only be accountable in public or places of worship.  Our faith and morality are something we should carry with us everywhere.  If we truly believe that everything around us is His, shouldn’t we be caretakers rather than destroyers?

Apparently a lot of problems in our lives result from our own behavior. It is time for this to change, for us to take responsibility.  With that, we’d like to announce that today, #CarolineHero has united with the National Committee for Child Protection and PasukanJarikto promote child welfare in Indonesia.  Our goal is to raise awareness, keep a spotlight on the plight of the abused, encourage frank and open discussions, educate people, along with finding and promoting solutions.  Please join us in our cause.

Photo Demo di Bundaran HI #15yearsNOTenough

Tanggal 19 Mei 2014, #CarolineHero bersama-sama dengan Pasukan Jarik, Komnas, KPAI dan masyarakat yang mendukung perlindungan anak, turun ke jalan untuk menyatakan bahwa #15yearsNOTenough. 
Sebenarnya yang perlu difokuskan bukan hanya hukuman seberat apa, tapi penanganan yang serius dari pihak pemerintah maupun pihak berwenang di dalam koridor hukum yang harus konsisten dalam menyelesaikan masalah kekerasan/kekerasan seksual anak. 

Mungkin banyak yang skeptikal dan bertanya apa gunanya turun ke jalanan dan bikin macet. 
Pertama-tama, demo ini yang diorganisir oleh Pasukan Jarik adalah demo yang sangat teratur dan panitia dengan tegas menjaga agar demo kami tidak turun ke jalanan yang membuat semakin macet lalu lintas. Kami berkeliling di sekitar bundaran HI, malah sepertinya kami menjadi hiburan yang lumayan menarik bagi pengendara yang terjebak macet di sekitar bundaran. Banyak dari pengendara ataupun penumpang di dalam angkutan umum yang mengambil foto dari kegiatan kami. Semoga pesan yang kami sampaikan melalui poster-poster kami bisa makin tersebar luas. 

Marilah kita bersatu untuk memerangi kekerasan anak. 
STOP KEKERASAN ANAK!

Iblis menang saat orang baik berdiam diri ~#CarolineHero














Jumat, 16 Mei 2014

Ada Apa Dengan Moral Kita Manusia Beragama?

Berlari-lari di jalan, bermain di taman ataupun naik sepeda sekitar rumah merupakan kegiatan yang sangat normal dan menyenangkan dilakukan anak-anak saat mereka bermain.

Gambar oleh Gabriella Lee
Tapi menjadi kegiatan yang masuk dalam kategori dilarang karena keselamatan anak-anak terancam. Dikhawatirkan, anak bisa diculik lalu disiksa, dipaksa jadi pengemis atau dijual atau bayangan yang menyeramkan lainnya. Mungkin saja terdengar agak mengada-ada atau yang kadang2 kita sebut paranoid. Sayangnya ketakutan seperti ini tidak lagi semata2 hanya merupakan bayangan seram saja, tapi sudah menjadi kenyataan pahit yang tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Sudah berkali-kali terjadi, bahkan sekarang ini sedang menjadi topik pembahasan sehari-hari. Tiap hari, kami bisa menemukan judul baru di media yang memberitakan kekerasan ataupun kekerasan seksual anak.

Pelakunya pun beragam, dari yang mempunya latar belakang pendidikan rendah maupun yang malah mempunyai latar belakang sebagai pendidik.
Anak yang lugu, biasanya tidak sadar ataupun takut untuk melaporkan. Sekarang ini sudah banyak tragedi yang terkuak, media langsung ramai membicarakan. TV banyak menyiarkan talkshow ataupun wawancara para ahli atau pakar anak untuk membahas tuntas masalah ini. Facebook, twitter, path, whatsapp ataupun media sosial lainnya heboh dengan pembahasan kekerasan anak. Mendadak semua bisa menjadi pakar  urusan kekerasan anak dan yang mulai saling tuding siapa yang salah. 

Lalu apa hasilnya?

Hingga saat ini, setiap hari kami dapat  membaca kasus kekerasan yang berbeda. Tapi kami belum mendengar berita atau kepastian mengenai perbaikan  nasib anak-anak yang menjadi korban ini ataupun berita bagaimana solusi dari tragedi ini supaya tidak terjadi lagi. Malah ada kemungkinan perjalanan hukum dari pelaku atau predator ini mentok dan akhirnya bebas lepas.
Dan akhirnya semua peristiwa ini ibarat trend busana yang akan muncul heboh lalu bergulir menghilang dan ganti dengan trend fashion lainnya.

Pemerintah maupun pihak berwenang mungkin terdengar memberikan pendapat atau masuk TV dan ikutan menghujat, tapi belum ada tindakan kongkrit yang membuat tragedi ini tidak akan terjadi lagi.  Banyak pihak-pihak tertentu yang dulunya tidak peduli, mendadak menjadi ikutan sibuk tampil di media layaknya seorang pahlawan dari anti kekerasan anak. 

Sebegitu kejamnyakah kita, membiarkan kekerasan seksual anak terjadi lagi mengalahkan pergantian trend fashion?

Ada Apa Dengan Moral Kita?

Arist Merdeka Sirait di salah satu acara TV mengatakan bahwa sejak tahun 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak telah mendeklarasikan keadaan darurat untuk masalah kekerasan anak. Tapi sepertinya memang belum cukup penting untuk dibicarakan hingga akhir bulan Pebruari 2014 meledak di media saat Pak Arist datang bersama Polisi dan staff KomNas untuk menyelamatkan anak-anak di panti Samuel. Sejak itu, mendadak kasus kekerasan anak bermunculan dimana-mana.

Walaupun bukan berita baru, begitulah perlakuan kita terhadap sesama manusia, bagaimana perlakuan kita terhadap mahluk ciptaan Tuhan lainnya? 

Selama kami mengikuti dari dekat tragedi kekerasan anak, kami juga menyaksikan kekerasan terhadap binatang, terutama anjing. Salah satu dari kami adalah aktivis dan pencinta binatang yang juga sudah berusaha menolong anjing-anjing korban siksaan. Saat kami datang ke panti Samuel, kami melihat bagaimana keadaan anjing-anjing yang hidupnya juga tidak kalah mengenaskan dari anak-anak panti Samuel. Dan ternyata memang sudah menjadi kenyataan bahwa setiap hari ada saja kekerasan terhadap anjing-anjing baik liar maupun peliharaan di sekitar rumah tempat tinggal kita. Alasan kekerasanpun tidak jelas, kadang hanya karena sekedar iseng untuk menyiksa atau membunuh anjing-anjing ini.

Di negara yang mempunyai perhatian untuk hak asasi (Human Rights) masih termasuk sangat rendah, dapat diperkirakan bahwa  kekerasan terhadap binatang tidak pernah dianggap sebagai masalah serius. Anak korban kekerasan saja masih bertebaran di mana-mana apalagi hewan, belum lagi dengan tindakan yang merusak alam yang bisa menjadi pembahasan panjang sendiri mengenai bagaimana manusia itu mahluk perusak. 

Ironis sekali kalau dipikir-pikir bagaimana negara ini sangat membanggakan penduduknya adalah umat yang religius, tetapi mempunyai kelakuan yang kejam. Ironis sekali, bangsa yang merasa dirinya taat beragama ini,yang dianggap mempunyai moral tinggi dibandingkan negara-negara maju yang (dituduh) penduduknya bersifat individualis, luntur dalam ketaatannya kepada agama, tetapi bertingkah laku kejam dan barbarik. Tetapi mengapa, di negara-negara yang dihujat tidak beragama itu, yang biasanya adalah negara maju,  malah binatang-binatang liar seperti burung, kucing ataupun tupai bisa terlihat di mana-mana dan bisa berdekatan dengan manusia tanpa merasa takut nasibnya akan berakhir dilemparin batu atau dimasak di kuali?

Bukankah agama mengajarkan bagaimana Tuhan adalah sang pencipta semesta alam beserta isinya? Ada maksud yang sangat mulia Tuhan menciptakan mahluk hidup yang beragam ini untuk memberikan keseimbangan dalam kehidupan manusia. Keindahan dan keajaiban yang Tuhan berikan, sudah layak dan sepantasnya manusia jaga dan hormati seperti layaknya kita mencintai diri sendiri. Bukankah ini adalah moral dasar yang bisa dengan mudah ditemukan di negara yang mempunyai penduduk sangat patuh beragama?

Gambar oleh Gabriella Lee (14)
Lalu mengapa fakta kehidupan sehari-hari sangat jauh dari gambaran kehidupan damai di mana anak-anak masih bisa bebas main di taman sambil mengejar-ngejar kerumunan burung yang terbang dan hinggap di sekitar kerumunan manusia. Mungkin perlu diterapkan lebih gencar bahwa ada baiknya bila kita menjalankan ajaran agama dan rasa penghormatan ke Sang Pencipta kita tidak hanya saat khusuk berdoa di tempat ibadah, tapi di mana pun kita berada, terutama di tempat yang tidak ada orang melihat. 

Bukan berarti negara maju lebih bagus dan bermoral dari kita, tapi yang pasti, kita patut malu bahwa negara yang membangga-banggakan status negara beragama tapi kekerasan terhadap alam semesta beserta isinya sangat tidak mencerminkan rasa hormat dan apresiasi terhadap kemurahan hati Sang Pencipta. Mungkin sebelum kita mencantumkan agama di KTP, hendaknya kita berpikir apakah kita layak menyatakan kita manusia beragama di saat kita masih membiarkan atau malah ikutan dalam kekerasan anak, binatang maupun perusakan alam semesta ini. 

Ternyata banyak sekali masalah di kehidupan kita yang diakibatkan kelakukan keji dari kita sendiri. Sudah saatnya hal ini diubah. Sekarang ini, gerakan #CarolineHero bersatu dengan KomNas Perlindungan Anak dan Pasukan Jarik untuk memperjuangkan agar kekerasaan anak bisa dimusnahkan dari kehidupan kita. Semoga saja hati kita tergerak untuk melakukan sesuatu untuk memperbaiki secara kongkrit. 

Kalau hingga saat ini kita hanya bisa tetap berdiam diri, ada apa dengan moral kita sebagai manusia beragama?