Kamis, 24 April 2014

Don't let your eyes and ears only be witness to these crimes!

Arist Merdeka Sirait was showing the photos of the suspects of child sex abuse in Jakarta International School. Photo by Viva News on April 16,2014


It’s difficult to fathom that there have been three major child abuse cases in Indonesia, involving more than thirty children, since we began #CarolineHero movement backin February.

 

The most recently exposed tragedy is centered around contracted employees at the Jakarta International School who are accused of sexually abusing students in the schools bathrooms. It has come as a shock that these acts would occur within the "fortress" like school with all of it’ssecurity measures and procedures. How is it that child abuse still manages to existinside an institution that has beenmarketed as "your child's second home?”

 

Many debates will take place discussing who is the most responsible for thistragedy. The school, contracting company, teachers, Education Ministry, or even the parents. This issue has national media attention, but the information isn’t clear and often conflicting, so what should we focus on?  Simply pointing fingers at each other, playing the blame game, ultimately doesn’t do anything more than create dramatic TV and boost revenue for news stations.

 

Let’s start with what we know for sure.  Child abuse, in whatever form (physical, emotional, sexual, etc)has been happening around us all of this time even though evidence supports that many, if not most, of these cases were preventable.

 

We need to ask ourselves many questions such as…  Have we lost our sense ofmorality? Do we still care about what's happening around us when it does notseem to impact us directly? Is the issue ofsexual abuse considered too taboo to be discussed with children? Have the police and the law makers done enough to prevent these predators from roaming freely to recommit these evil acts?  Are we willing to acknowledge when abuse takes place and provide meaningful support to the victims?

 

There are still other questions, some of which society hasn’t come up with answers for, buthere are also solutions for many of the problems we face.

 

Child abuse occurs in many forms, both physical and psychological based.  Child abuse is often committed by the very people who are closest to the children. These predators take advantage of their position and the innocence and trust of the children. Child abuse cases often occurwithin the family circle.  It can happen once or repetitively.  It takes place regardless of economic and social class.

 

Whether a habitual act or one time event, the impact to the victims can take many forms and there is no, “one size fits all,”therapy. The scars, both physical and psychological, are life long and sadly it can even lead to generational abuse where the victims grow up to be predators.

 

We should ask ourselves if this will be justanother sad story in the news that we quickly forget about or will we take a stand, demanding and participating in social changes to protect our children?

 

Child sex abuse is not just an unfortunate and random event. Child sex abuse is by and far preventable.  Education and awareness, open discussion, reporting,victim rights, enforcing laws, and just punishment all play a part in addressing this tragedy.

 

Indonesian Child Protection Law states thata person guilty of child sex abuse will be imprisoned for a maximum of fifteen years. Is this an appropriate punishment andeffective deterrent against abuse?  What is the rate of prosecution, the averagesentence?  Is this law effective?

 

Whatever the punishment, it will never be enough if society at large only act as TV spectators when they view cases such asthat involving the Samuel Orphanage children, Iqbal, and JIS.

 

What can we do? There are at least two areas that we can easily contribute to, in order to prevent this from happening again:

 

1. Communicate with our children, inform them about private body parts and inappropriate touchingMake sure that they will never be too frightened or ashamed to come forward if something makes themuncomfortable.  While we should all takereasonable measures for the safety of our children, in the end they must learn how toidentify wrongs and protect themselves.

 

2. Be alert and ready to act when it comes to helping, protecting, and saving others in need. As hard as it is, reporting what happens to the police or child protectionorganizations must be done, not just to help the current cases, but to expose unreported abuse.

 

If each of us has the commitment to carry out these responsibilities then the window of opportunity for the predators will shrink. Don’t just sit on the sidelines. Get involved.  It’s your community and you should and can make a positive difference.

 

Many organizations have been involved directly in providing child protection such as the National Commission of Child Protection (KomNas PA), Indonesian Commission of Child Protection (KPAI) or other independent organizations that dedicate themselves to this path. But they can only act on what they know about and it is very evident that their efforts are not enough without our continuous supportand involvement.

 

One action is fighting for legal change.  As an example there is a petition requesting alonger period  (> 15 years) of jail time for a person found guilty of committing child sex abuse.  The link is below.

 

Komisi VIII DPR: HUKUM Pelecehseksual/Pemerkosa/predator seksualanak2 seberat2nyaRevisi UU No. 23 tahun2002! 5-15thn tidaklah cukup.

 

 

 

 

 

Komisi VIII DPR: HUKUMPeleceh seksual/Pemerkos...

VERSI INDONESIA: HUKUM Pelecehseksual/Pemerkosa/predator seksual anak2seberat2nyaRevisi UU No. 23 tahun 2002!5-15thn tidaklah cukup. D...

 

 

 

 

Preview by Yahoo

 

 

 

In conclusion, we, as a society aren’t doing enough to prevent child abuse.  Enough is enough! Don't let your eyes and ears only be witness to these crimes.  Speak up, take action, educate and be involved.  Our children desperately need our help.

 

Evil wins when good people do nothing - #CarolineHero

Minggu, 20 April 2014

Jangan Biarkan Mata Telinga Jadi Saksi Lagi



Sumber Photo: Viva News 16 April 2014
Telah banyak kekerasan terhadap anak dan pelecehan seksual kepada anak di bawah umur yang terjadi selama ini, tapi kami tidak pernah menduga bahwa dalam kurun waktu di bawah 3 bulan sejak kami mulai menuliskan blog #CarolineHero ini, sudah ada 3 peristiwa besar yang memakan lebih dari 30 anak yang media beritakan berhubungan dengan kasus kekerasan dan/atau pelecehan seksual terhadap anak. Belum lagi tragedi yang tidak diangkat oleh media. 

Berita terbaru mengenai  hal ini adalah adanya anak TK yang menjadi korban sodomi di Jakarta International School. Tentunya berita ini sangat mengejutkan karena kami ingat bagaimana ketatnya syarat-syarat untuk masuk ke sekolah tersebut. Pernah kami bercanda mengatakan bahwa masuk ke sekolah itu seperti masuk imigrasi Amerika yang tidak hanya penjagaan dari petugasnya yang ketat,tetapi juga adanya kamera CCTV yang dipasang di mana-mana. Tapi mengapa masih bisa terjadi kejahatan yang sangat mendasar di sebuah institusi di mana anak semestinya mendapatkan tempat paling aman selain di rumah mereka sendiri? 

Pihak sekolah mungkin menjadi pihak pertama yang akan dituntut untuk bertanggung jawab dan biasanya akan menjadi perdebatan siapa yang harus bertanggung jawab. Bahkan, isu ini bisa semakin memanas hingga akhirnya fokus dari insiden ini sudah jauh melenceng menjadi drama dan pertengkaran di televisi maupun sosial media semata. 
Lalu apa fokus dari tragedi ini? 

Kekerasan dan pelecehan seksual anak sudah terjadi berulang kali dan mengapa hal ini bisa terjadi berulang kali? Apa penanggulangannya? Hingga kapan?

Apakah kesadaran kita sebagai manusia dewasa sudah begitu  rendahnya? 
Atau mata dan hati kita sudah tertutup, tidak peduli terhadap kejadian-kejadian seperti itu terutama bila tidak berhubungan dengan kita? 
Atau karena isu ini terlalu tabu untuk dibicarakan antara orang tua dan anak hingga anak harus mengalami hal yang buruk? 
Apakah pihak yang berwenang selalu membiarkan predator-predator itu bebas lepas dan bisa melakukannya lagi? 

Mungkin masih banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan dan kemungkinan  memang tidak hanya satu jawabannya. 

Kalau ditelusuri lagi, kekerasan atau pun tindakan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur itu banyak ragamnya. Dari yang melalui kata-kata hingga tindakan secara fisik. Bahkan tidak mengherankan kalau pelaku / predator nya adalah orang yang tinggal satu atap dengan korban. Anak yang lugu pun biasanya tidak tahu bahwa selama ini menjadi korban, karena dipikiran anak, memang pantas-pantas saja bila orang dewasa melalukannya ke mereka. Orang dewasa dianggap orang yang lebih tahu dan lebih benar dari anak itu sendiri. Jadi kejadian kekerasan maupun seksual sebenarnya sangat lah mudah terjadi dikalangan paling dekat dengan anak bahkan di keluarga sendiri. Kejadian nya bisa hanya sekali, bisa juga berulang kali, bisa terjadi di kalangan miskin papa maupun yang hidup berlimpah. Kekerasan anak maupun pelecehan seksual ini tidak memandang latar belakang.  Kemungkinan besar pelakunya dari latar belakang ekonomi bawah yang mempunyai keterbatasan pengetahuan maupun sarana keamanan dari anak-anak tersebut, tapi tidak menutup kemungkinan pelaku pun mempunyai latar belakang dari ekonomi menengah ke atas. Apapun latar belakangnya, sangat menyedihkan orang-orang ini bisa mempunyai hati untuk memangsa anak-anak yang tak berdaya. 

Dampak yang dialami korban pun bermacam-macam. Tidak bisa kita seragamkan begitu saja baik aspek penyebab maupun solusi ke depannya. Apa yang dilakukan kepada sang anak mungkin tidak diingat sama sekali oleh predator nya. Kejadiannya mungkin di bawah 5 menit, tapi bisa menjadi luka dan trauma yang dalam bagi korban seumur hidupnya. Lalu pertanyaannya, apakah hal ini akan menjadi salah satu cerita yang tidak ada habisnya di dalam kehidupan bermasyarakat kita? Hal buruk bisa terjadi disekitar kita, tapi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur bukanlah suatu hal yang kebetulan dan tidak dapat dihindarkan. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, orang yang melakukan pelanggaran kekerasan terhadap anak maupun pelecehan seksual bisa dihukum selama 5-15 tahun penjara. Apakah kurun waktu tersebut cukup untuk membuat predator jera atau berpikir dua kali untuk melakukannya? 
Apapun hukumannya, tidak akan cukup bila masyarakat hanya berdiam diri dan hanya berstatus sebagai penonton di depan TV saat ada berita yang memilukan seperti kejadian yang menimpa anak2 panti Samuel, Iqbal maupun anak yg bersekolah di JIS. 

Dua hal paling sedikit yang kita perlu lakukan  sebagai kontribusi kita untuk mencegah terulangnya kejahatan seperti itu di kemudian hari. 
1. Ciptakan komunikasi dan berilah pengetahuan ke anak-anak kita mengenai hal ini. Orang tua, guru, saudara dan orang-orang dewasa lain bisa melakukan usaha melidungi, tetapi pada akhirnya, anak itu sendirilah yang merupakan pertahanan pertama dari serangan para predator-predator itu. 
2. Marilah kita mengambil sikap waspada dan siaga untuk setiap waktu dimana perlu kita bergerak,  membela, melindungi, menyelamatkan  korban dengan melaporkan kepada yang berwenang ataupun ke organisasi-organisasi yang berkecimpung di bidang ini,  sehingga pihak berwenang dan pemerintah pun akan lebih serius dalam penanganan dan predator akan gentar untuk melakukannya. 

Bila masing-masing dari kita mempunyai rasa tanggung jawab untuk melakukan dua hal di atas, maka ruang gerak dari predator ataupun yang berpikir untuk mencari korban pun menjadi semakin sempit. Mungkin sebagian dari kita akan menganggap terlalu ambisius apabila kita bermimpi untuk menghilangkan predator dari muka bumi ini, tapi sama jahatnyalah kita dengan predator itu bila kita tidak berbuat apa-apa dan membiarkan predator ini lepas bebas dan bisa melakukan hal yang sama lagi, sebagaimana yang kami katakan: Iblis menang saat orang berdiam diri. - #CarolineHero.

Ada beberapa organisasi di Indonesia yang telah turun tangan langsung untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak, seperti Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas PA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atau pun pihak-pihak independen yang telah berdedikasi di jalur ini, tapi terbukti usaha dari mereka ini tidak cukup. Kita sebagai masyarakat perlu membantu apa yang sudah organisasi-organisasi ini lakukan. 

Saat ini ada petisi yang menuntut agar hukuman terhadap predator lebih berat dari 5-15 tahun. Marilah kita dukung petisi ini dan kita desak agar pihak berwenang tidak berhenti menangani kejahatan ini. 

https://www.change.org/id/petisi/komisi-viii-dpr-hukum-peleceh-seksual-pemerkosa-predator-seksual-anak2-seberat2nya-revisi-uu-no-23-tahun-2002-5-15thn-tidaklah-cukup

Akhir kata, sudah selayak dan sepantasnya kejahatan ini dihapuskan sampai di sini saja, janganlah biarkan mata dan telinga kita menjadi saksi dari kejahatan-kejahatan seperti ini di kemudian hari. 

--------------
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 80

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000.
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.
(3) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.  

Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 dan paling sedikit Rp 60.000.000
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Sabtu, 12 April 2014

Apakabar Anak-Anak Panti Samuel?


Hari Sabtu tanggal 29 Maret, 2014, kami mengunjungi anak-anak Panti Asuhan Samuel di Rumah Aman yang dikelola oleh RSPA dibawah Departemen Sosial. Tujuan dari kunjungan kali ini selain karena kangen, kami juga ingin mengetahui kondisi mereka saat ini.

Rumah aman ini lokasinya di dalam arena kompleks bangunan beberapa bangunan bentuk rumah sederhana yang ditumbuhi rumput dan pepohonan rimbun, sangat menyejukan dan memberikan kesan bahwa tempat ini memang dirawat dengan baik. 

Kami bertemu dengan Ibu Yuni dan beberapa staff di Rumah Aman yang dengan terbuka memberikan informasi mengenai keadaan anak-anak tersebut. Maksud terbuka di sini adalah mereka mau menceritakan keadaan apa adanya mengenai suka duka anak-anak Panti Asuhan Samuel yang harus banyak beradaptasi di tempat yang baru. 
Contohnya, banyak dari anak Panti Samuel yang sudah terbiasa tidur di lantai tanpa kasur atau alas saat mereka berada di Panti Sameul. Jadi saat mereka pindah ke Rumah Aman, pengasuh harus berulang kali masuk ke kamar mereka untuk memindahkan anak-anak yang memilih tidur di lantai. Ini hanya salah satu contoh yang sangat sederhana yang mungkin tidak terpikirkan bahwa urusan tidur saja ternyata perlu perhatian khusus. 

Apakah Rumah Aman merupakan tempat yang ideal untuk anak-anak Panti Asuhan Samuel? 
Mungkin saja tidak, karena tempat ideal adalah rumah sendiri yang dipenuhi kasih sayang dari orang tua ke anak-anak.

Apakah Rumah Aman bisa menjamin bahwa anak-anak akan mendapatkan pendidikan ataupun kebutuhan yang cukup hingga mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab? 
Tentunya tidak ada yang menjamin atau bisa tahu bagaimana nasib anak-anak di kemudian hari.  Kita hanya bisa berusaha dan berharap yang terbaik, selayaknya kita juga mengharapkan anak-anak kita sendiri untuk menjadi orang yang mempunyai masa depan yang baik. 

Tapi yang pasti, Rumah Aman, merupakan tempat yang jauh lebih layak bagi anak-anak tersebut di mana mereka dirawat, diberikan makan dan minum secara teratur, dibiasakan hidup dengan aturan yang ada seperti kebersihan, kesopanan dan disiplin. 

Tak dapat kami pungkiri betapa senang hati kami dapat bercengkerama,  dari berbincang-bincang, makan, photo-photo atau hanya tertawa memperhatikan tingkah laku mereka yang lucu. Layaknya anak-anak, tentu ada saja yang bertengkar, tetapi kami lihat bagaimana mereka memiliki rasa solidaritas dan saling melindungi yang cukup tinggi antara satu dengan yang lainnya, terutama kakak terhadap adiknya. Kakak yang besar bisa memarahi adiknya bila salah, tapi juga melindungi tanpa pamrih bila adiknya perlu pertolongan. Hal positif lain yang kami lihat, bahwa anak-anak Panti Asuhan Samuel sudah mulai dapat berinteraksi dengan anak-anak penghuni Rumah Aman lainnya. 

Kegembiraan bagi kami adalah ketika kami datang disambut dengan senyuman dan sapaan baik dari mereka semua. Di lain sisi, kami tetap mempunyai perasaan sedih setiap bertemu mereka, karena permasalahan yang tengah mereka hadapi belum selesai. Anak-anak ini ditemukan dalam kondisi terluka baik secara fisik maupun batin. Secara perlahan sebagian luka fisik akan sembuh dan mungkin hilang tanpa bekas, tetapi tidak dengan luka batin. Mereka mengalami luka batin yang luar biasa sehingga untuk mengetahui berapa lama proses penyembuhannya pun tidak bisa diprediksi. Namun, kami percaya bahwa mereka saat ini sudah berada di tempat yang jauh lebih baik untuk mereka memulai menata kembali kehidupan yang lebih layak. Dan kami hanya bisa mengharapkan yang terbaik untuk mereka. 

Apa yang kami lihat membuat kami tersenyum, miris, terharu dan terinspirasi, bahwa anak-anak seperti mereka yang sudah mengalami kekerasan dalam kehidupannya, tetap masih bisa mempunyai hati dan kebaikan yang mereka bagikan antar mereka sendiri layaknya kakak adik kandung. Anak-anak panti Samuel harus banyak belajar mengenai tata krama maupun pelajaran sekolah yang sudah banyak tertinggal, tapi tanpa mereka sadari, mereka juga merupakan guru dan teladan yang patut kita contoh tentang arti kasih sayang yang tulus dan kekompakan satu sama lain tanpa melihat latar belakang, agama dan suku.