Minggu, 20 April 2014

Jangan Biarkan Mata Telinga Jadi Saksi Lagi



Sumber Photo: Viva News 16 April 2014
Telah banyak kekerasan terhadap anak dan pelecehan seksual kepada anak di bawah umur yang terjadi selama ini, tapi kami tidak pernah menduga bahwa dalam kurun waktu di bawah 3 bulan sejak kami mulai menuliskan blog #CarolineHero ini, sudah ada 3 peristiwa besar yang memakan lebih dari 30 anak yang media beritakan berhubungan dengan kasus kekerasan dan/atau pelecehan seksual terhadap anak. Belum lagi tragedi yang tidak diangkat oleh media. 

Berita terbaru mengenai  hal ini adalah adanya anak TK yang menjadi korban sodomi di Jakarta International School. Tentunya berita ini sangat mengejutkan karena kami ingat bagaimana ketatnya syarat-syarat untuk masuk ke sekolah tersebut. Pernah kami bercanda mengatakan bahwa masuk ke sekolah itu seperti masuk imigrasi Amerika yang tidak hanya penjagaan dari petugasnya yang ketat,tetapi juga adanya kamera CCTV yang dipasang di mana-mana. Tapi mengapa masih bisa terjadi kejahatan yang sangat mendasar di sebuah institusi di mana anak semestinya mendapatkan tempat paling aman selain di rumah mereka sendiri? 

Pihak sekolah mungkin menjadi pihak pertama yang akan dituntut untuk bertanggung jawab dan biasanya akan menjadi perdebatan siapa yang harus bertanggung jawab. Bahkan, isu ini bisa semakin memanas hingga akhirnya fokus dari insiden ini sudah jauh melenceng menjadi drama dan pertengkaran di televisi maupun sosial media semata. 
Lalu apa fokus dari tragedi ini? 

Kekerasan dan pelecehan seksual anak sudah terjadi berulang kali dan mengapa hal ini bisa terjadi berulang kali? Apa penanggulangannya? Hingga kapan?

Apakah kesadaran kita sebagai manusia dewasa sudah begitu  rendahnya? 
Atau mata dan hati kita sudah tertutup, tidak peduli terhadap kejadian-kejadian seperti itu terutama bila tidak berhubungan dengan kita? 
Atau karena isu ini terlalu tabu untuk dibicarakan antara orang tua dan anak hingga anak harus mengalami hal yang buruk? 
Apakah pihak yang berwenang selalu membiarkan predator-predator itu bebas lepas dan bisa melakukannya lagi? 

Mungkin masih banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan dan kemungkinan  memang tidak hanya satu jawabannya. 

Kalau ditelusuri lagi, kekerasan atau pun tindakan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur itu banyak ragamnya. Dari yang melalui kata-kata hingga tindakan secara fisik. Bahkan tidak mengherankan kalau pelaku / predator nya adalah orang yang tinggal satu atap dengan korban. Anak yang lugu pun biasanya tidak tahu bahwa selama ini menjadi korban, karena dipikiran anak, memang pantas-pantas saja bila orang dewasa melalukannya ke mereka. Orang dewasa dianggap orang yang lebih tahu dan lebih benar dari anak itu sendiri. Jadi kejadian kekerasan maupun seksual sebenarnya sangat lah mudah terjadi dikalangan paling dekat dengan anak bahkan di keluarga sendiri. Kejadian nya bisa hanya sekali, bisa juga berulang kali, bisa terjadi di kalangan miskin papa maupun yang hidup berlimpah. Kekerasan anak maupun pelecehan seksual ini tidak memandang latar belakang.  Kemungkinan besar pelakunya dari latar belakang ekonomi bawah yang mempunyai keterbatasan pengetahuan maupun sarana keamanan dari anak-anak tersebut, tapi tidak menutup kemungkinan pelaku pun mempunyai latar belakang dari ekonomi menengah ke atas. Apapun latar belakangnya, sangat menyedihkan orang-orang ini bisa mempunyai hati untuk memangsa anak-anak yang tak berdaya. 

Dampak yang dialami korban pun bermacam-macam. Tidak bisa kita seragamkan begitu saja baik aspek penyebab maupun solusi ke depannya. Apa yang dilakukan kepada sang anak mungkin tidak diingat sama sekali oleh predator nya. Kejadiannya mungkin di bawah 5 menit, tapi bisa menjadi luka dan trauma yang dalam bagi korban seumur hidupnya. Lalu pertanyaannya, apakah hal ini akan menjadi salah satu cerita yang tidak ada habisnya di dalam kehidupan bermasyarakat kita? Hal buruk bisa terjadi disekitar kita, tapi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur bukanlah suatu hal yang kebetulan dan tidak dapat dihindarkan. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, orang yang melakukan pelanggaran kekerasan terhadap anak maupun pelecehan seksual bisa dihukum selama 5-15 tahun penjara. Apakah kurun waktu tersebut cukup untuk membuat predator jera atau berpikir dua kali untuk melakukannya? 
Apapun hukumannya, tidak akan cukup bila masyarakat hanya berdiam diri dan hanya berstatus sebagai penonton di depan TV saat ada berita yang memilukan seperti kejadian yang menimpa anak2 panti Samuel, Iqbal maupun anak yg bersekolah di JIS. 

Dua hal paling sedikit yang kita perlu lakukan  sebagai kontribusi kita untuk mencegah terulangnya kejahatan seperti itu di kemudian hari. 
1. Ciptakan komunikasi dan berilah pengetahuan ke anak-anak kita mengenai hal ini. Orang tua, guru, saudara dan orang-orang dewasa lain bisa melakukan usaha melidungi, tetapi pada akhirnya, anak itu sendirilah yang merupakan pertahanan pertama dari serangan para predator-predator itu. 
2. Marilah kita mengambil sikap waspada dan siaga untuk setiap waktu dimana perlu kita bergerak,  membela, melindungi, menyelamatkan  korban dengan melaporkan kepada yang berwenang ataupun ke organisasi-organisasi yang berkecimpung di bidang ini,  sehingga pihak berwenang dan pemerintah pun akan lebih serius dalam penanganan dan predator akan gentar untuk melakukannya. 

Bila masing-masing dari kita mempunyai rasa tanggung jawab untuk melakukan dua hal di atas, maka ruang gerak dari predator ataupun yang berpikir untuk mencari korban pun menjadi semakin sempit. Mungkin sebagian dari kita akan menganggap terlalu ambisius apabila kita bermimpi untuk menghilangkan predator dari muka bumi ini, tapi sama jahatnyalah kita dengan predator itu bila kita tidak berbuat apa-apa dan membiarkan predator ini lepas bebas dan bisa melakukan hal yang sama lagi, sebagaimana yang kami katakan: Iblis menang saat orang berdiam diri. - #CarolineHero.

Ada beberapa organisasi di Indonesia yang telah turun tangan langsung untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak, seperti Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas PA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atau pun pihak-pihak independen yang telah berdedikasi di jalur ini, tapi terbukti usaha dari mereka ini tidak cukup. Kita sebagai masyarakat perlu membantu apa yang sudah organisasi-organisasi ini lakukan. 

Saat ini ada petisi yang menuntut agar hukuman terhadap predator lebih berat dari 5-15 tahun. Marilah kita dukung petisi ini dan kita desak agar pihak berwenang tidak berhenti menangani kejahatan ini. 

https://www.change.org/id/petisi/komisi-viii-dpr-hukum-peleceh-seksual-pemerkosa-predator-seksual-anak2-seberat2nya-revisi-uu-no-23-tahun-2002-5-15thn-tidaklah-cukup

Akhir kata, sudah selayak dan sepantasnya kejahatan ini dihapuskan sampai di sini saja, janganlah biarkan mata dan telinga kita menjadi saksi dari kejahatan-kejahatan seperti ini di kemudian hari. 

--------------
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 80

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000.
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.
(3) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.  

Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 dan paling sedikit Rp 60.000.000
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar