Selasa, 20 Mei 2014

illustration by Gabriella Lee Sudyatmiko 14yo


Running around the house, playing in the park, or taking a bike ride down the street are all normal and expected activities for children. But being abducted and tortured, forced to become a beggar, or being used for even more sinister purposes is something that many children face every day. Maybe it sounds a bit farfetched but sadly such situations are not just fables, and instead are harsh realities that exist even in today’s modern world.  The evidence is presented daily in the media, shown in reports by both government and non government organizations, and sometimes we even witness it with our own eyes and ears.
The culprits run the gambit fromstranger to family, non-educated to teacher, poor to rich, religious to faithless.No group is immune or excluded. 
The victims are innocent children that are coerced, forced, threatened or unaware that what is happening to them is wrong and these atrocities often go unreported. 
On occasion the tragedy is exposed, the media immediately crowd in to discuss the news, claiming to be experts on the matter.  Despite the great integrity of many journalist, the networks at their core are after ratings as that drives profit and will stoke fear, create drama, and in the end often confuse their viewers rather than educate and have useful debates.  Then the masses unknowingly pass on their interpretation of this misinformation on Facebook, Twitter, Path, Whatsappand the long list of other social media tools. While the topic has finally garnered the long overdueattention it deserves, we unfortunately bombarded with misdirected blame and anger, becoming so divided that solutions seem unattainable.
So where does that currently leave us?
Nearly every day we can read different cases of violence and child abuse but there is little to no news with regards to bettering the situation or even helping the known victims.  Instead we see accused predators taking a cue from those on trial for corruption, proudly and happily embracing the media attention, laughing and smiling for the cameras.
And now, similar to other trends, our collective attention span has been reached and we are moving on to the next topic.  You could liken us toostriches, just sticking our heads in the sand and pretending like the danger no longer exists.

illustration by Gabriella Lee Sudyatmiko 14 yo
Government and regulatory authorities may still share an opinion or provide the public with a small followup here and there, but no concrete changes are likely without continual pressure from a properly aware and educated population.And sadly, just like any other trend, the tragedy will reoccur and the process will start all over again, children’s lives destroyed by something that was largely preventable.
What's happened to our morality?  Is abuse in our nature?
AristMerdekaSirait recently pointed out that in 2013, his organization, the National Commission for Child Protection declared a state of emergency for the child abuse problem but it wasn’t deemed important enough by those with media influence to get widespread coverage until the end of February 2014 when Mr. Arist arrived with police and staff to rescue children from the Samuel Orphanage. Since then there have been a rash of highly publicized child abuse cases.  In reality cases like these have been happening all along but they have been hidden from the public, not deemed worthy of our attention, just waiting for a slow news day.
Another form of abuse that has not received appropriate attention is violence against animals.
While of late we have collectively followed the tragic cases of child abuse, we have overlooked violence against animals, especially dogs.  There is often a strong correlation between the abuse of animals and eventual violence against humans.  Samuel Orphanage had many neglected dogs on the property and this should have been a sign of what was happening to the children.  The dogs were caged, chained, malnourished, and sickly.  Yes, these are animals, but of what benefit or reason should they be tortured and treated so cruelly?  What example are we setting by participating or turning a blind eye?
Indonesia has a wonderful heritage and a very proud people with a vibrant culture but we need to take a long, hard lookat ourselves and recognize our own shortcomings.  As a people and country, we deem ourselves religious and dedicated to our Creator but we abuse ourselves, others, and the nature around us. We disrespect Him by mistreating the very gifts that He has provided.  We shouldn’t only be accountable in public or places of worship.  Our faith and morality are something we should carry with us everywhere.  If we truly believe that everything around us is His, shouldn’t we be caretakers rather than destroyers?

Apparently a lot of problems in our lives result from our own behavior. It is time for this to change, for us to take responsibility.  With that, we’d like to announce that today, #CarolineHero has united with the National Committee for Child Protection and PasukanJarikto promote child welfare in Indonesia.  Our goal is to raise awareness, keep a spotlight on the plight of the abused, encourage frank and open discussions, educate people, along with finding and promoting solutions.  Please join us in our cause.

Photo Demo di Bundaran HI #15yearsNOTenough

Tanggal 19 Mei 2014, #CarolineHero bersama-sama dengan Pasukan Jarik, Komnas, KPAI dan masyarakat yang mendukung perlindungan anak, turun ke jalan untuk menyatakan bahwa #15yearsNOTenough. 
Sebenarnya yang perlu difokuskan bukan hanya hukuman seberat apa, tapi penanganan yang serius dari pihak pemerintah maupun pihak berwenang di dalam koridor hukum yang harus konsisten dalam menyelesaikan masalah kekerasan/kekerasan seksual anak. 

Mungkin banyak yang skeptikal dan bertanya apa gunanya turun ke jalanan dan bikin macet. 
Pertama-tama, demo ini yang diorganisir oleh Pasukan Jarik adalah demo yang sangat teratur dan panitia dengan tegas menjaga agar demo kami tidak turun ke jalanan yang membuat semakin macet lalu lintas. Kami berkeliling di sekitar bundaran HI, malah sepertinya kami menjadi hiburan yang lumayan menarik bagi pengendara yang terjebak macet di sekitar bundaran. Banyak dari pengendara ataupun penumpang di dalam angkutan umum yang mengambil foto dari kegiatan kami. Semoga pesan yang kami sampaikan melalui poster-poster kami bisa makin tersebar luas. 

Marilah kita bersatu untuk memerangi kekerasan anak. 
STOP KEKERASAN ANAK!

Iblis menang saat orang baik berdiam diri ~#CarolineHero














Jumat, 16 Mei 2014

Ada Apa Dengan Moral Kita Manusia Beragama?

Berlari-lari di jalan, bermain di taman ataupun naik sepeda sekitar rumah merupakan kegiatan yang sangat normal dan menyenangkan dilakukan anak-anak saat mereka bermain.

Gambar oleh Gabriella Lee
Tapi menjadi kegiatan yang masuk dalam kategori dilarang karena keselamatan anak-anak terancam. Dikhawatirkan, anak bisa diculik lalu disiksa, dipaksa jadi pengemis atau dijual atau bayangan yang menyeramkan lainnya. Mungkin saja terdengar agak mengada-ada atau yang kadang2 kita sebut paranoid. Sayangnya ketakutan seperti ini tidak lagi semata2 hanya merupakan bayangan seram saja, tapi sudah menjadi kenyataan pahit yang tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Sudah berkali-kali terjadi, bahkan sekarang ini sedang menjadi topik pembahasan sehari-hari. Tiap hari, kami bisa menemukan judul baru di media yang memberitakan kekerasan ataupun kekerasan seksual anak.

Pelakunya pun beragam, dari yang mempunya latar belakang pendidikan rendah maupun yang malah mempunyai latar belakang sebagai pendidik.
Anak yang lugu, biasanya tidak sadar ataupun takut untuk melaporkan. Sekarang ini sudah banyak tragedi yang terkuak, media langsung ramai membicarakan. TV banyak menyiarkan talkshow ataupun wawancara para ahli atau pakar anak untuk membahas tuntas masalah ini. Facebook, twitter, path, whatsapp ataupun media sosial lainnya heboh dengan pembahasan kekerasan anak. Mendadak semua bisa menjadi pakar  urusan kekerasan anak dan yang mulai saling tuding siapa yang salah. 

Lalu apa hasilnya?

Hingga saat ini, setiap hari kami dapat  membaca kasus kekerasan yang berbeda. Tapi kami belum mendengar berita atau kepastian mengenai perbaikan  nasib anak-anak yang menjadi korban ini ataupun berita bagaimana solusi dari tragedi ini supaya tidak terjadi lagi. Malah ada kemungkinan perjalanan hukum dari pelaku atau predator ini mentok dan akhirnya bebas lepas.
Dan akhirnya semua peristiwa ini ibarat trend busana yang akan muncul heboh lalu bergulir menghilang dan ganti dengan trend fashion lainnya.

Pemerintah maupun pihak berwenang mungkin terdengar memberikan pendapat atau masuk TV dan ikutan menghujat, tapi belum ada tindakan kongkrit yang membuat tragedi ini tidak akan terjadi lagi.  Banyak pihak-pihak tertentu yang dulunya tidak peduli, mendadak menjadi ikutan sibuk tampil di media layaknya seorang pahlawan dari anti kekerasan anak. 

Sebegitu kejamnyakah kita, membiarkan kekerasan seksual anak terjadi lagi mengalahkan pergantian trend fashion?

Ada Apa Dengan Moral Kita?

Arist Merdeka Sirait di salah satu acara TV mengatakan bahwa sejak tahun 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak telah mendeklarasikan keadaan darurat untuk masalah kekerasan anak. Tapi sepertinya memang belum cukup penting untuk dibicarakan hingga akhir bulan Pebruari 2014 meledak di media saat Pak Arist datang bersama Polisi dan staff KomNas untuk menyelamatkan anak-anak di panti Samuel. Sejak itu, mendadak kasus kekerasan anak bermunculan dimana-mana.

Walaupun bukan berita baru, begitulah perlakuan kita terhadap sesama manusia, bagaimana perlakuan kita terhadap mahluk ciptaan Tuhan lainnya? 

Selama kami mengikuti dari dekat tragedi kekerasan anak, kami juga menyaksikan kekerasan terhadap binatang, terutama anjing. Salah satu dari kami adalah aktivis dan pencinta binatang yang juga sudah berusaha menolong anjing-anjing korban siksaan. Saat kami datang ke panti Samuel, kami melihat bagaimana keadaan anjing-anjing yang hidupnya juga tidak kalah mengenaskan dari anak-anak panti Samuel. Dan ternyata memang sudah menjadi kenyataan bahwa setiap hari ada saja kekerasan terhadap anjing-anjing baik liar maupun peliharaan di sekitar rumah tempat tinggal kita. Alasan kekerasanpun tidak jelas, kadang hanya karena sekedar iseng untuk menyiksa atau membunuh anjing-anjing ini.

Di negara yang mempunyai perhatian untuk hak asasi (Human Rights) masih termasuk sangat rendah, dapat diperkirakan bahwa  kekerasan terhadap binatang tidak pernah dianggap sebagai masalah serius. Anak korban kekerasan saja masih bertebaran di mana-mana apalagi hewan, belum lagi dengan tindakan yang merusak alam yang bisa menjadi pembahasan panjang sendiri mengenai bagaimana manusia itu mahluk perusak. 

Ironis sekali kalau dipikir-pikir bagaimana negara ini sangat membanggakan penduduknya adalah umat yang religius, tetapi mempunyai kelakuan yang kejam. Ironis sekali, bangsa yang merasa dirinya taat beragama ini,yang dianggap mempunyai moral tinggi dibandingkan negara-negara maju yang (dituduh) penduduknya bersifat individualis, luntur dalam ketaatannya kepada agama, tetapi bertingkah laku kejam dan barbarik. Tetapi mengapa, di negara-negara yang dihujat tidak beragama itu, yang biasanya adalah negara maju,  malah binatang-binatang liar seperti burung, kucing ataupun tupai bisa terlihat di mana-mana dan bisa berdekatan dengan manusia tanpa merasa takut nasibnya akan berakhir dilemparin batu atau dimasak di kuali?

Bukankah agama mengajarkan bagaimana Tuhan adalah sang pencipta semesta alam beserta isinya? Ada maksud yang sangat mulia Tuhan menciptakan mahluk hidup yang beragam ini untuk memberikan keseimbangan dalam kehidupan manusia. Keindahan dan keajaiban yang Tuhan berikan, sudah layak dan sepantasnya manusia jaga dan hormati seperti layaknya kita mencintai diri sendiri. Bukankah ini adalah moral dasar yang bisa dengan mudah ditemukan di negara yang mempunyai penduduk sangat patuh beragama?

Gambar oleh Gabriella Lee (14)
Lalu mengapa fakta kehidupan sehari-hari sangat jauh dari gambaran kehidupan damai di mana anak-anak masih bisa bebas main di taman sambil mengejar-ngejar kerumunan burung yang terbang dan hinggap di sekitar kerumunan manusia. Mungkin perlu diterapkan lebih gencar bahwa ada baiknya bila kita menjalankan ajaran agama dan rasa penghormatan ke Sang Pencipta kita tidak hanya saat khusuk berdoa di tempat ibadah, tapi di mana pun kita berada, terutama di tempat yang tidak ada orang melihat. 

Bukan berarti negara maju lebih bagus dan bermoral dari kita, tapi yang pasti, kita patut malu bahwa negara yang membangga-banggakan status negara beragama tapi kekerasan terhadap alam semesta beserta isinya sangat tidak mencerminkan rasa hormat dan apresiasi terhadap kemurahan hati Sang Pencipta. Mungkin sebelum kita mencantumkan agama di KTP, hendaknya kita berpikir apakah kita layak menyatakan kita manusia beragama di saat kita masih membiarkan atau malah ikutan dalam kekerasan anak, binatang maupun perusakan alam semesta ini. 

Ternyata banyak sekali masalah di kehidupan kita yang diakibatkan kelakukan keji dari kita sendiri. Sudah saatnya hal ini diubah. Sekarang ini, gerakan #CarolineHero bersatu dengan KomNas Perlindungan Anak dan Pasukan Jarik untuk memperjuangkan agar kekerasaan anak bisa dimusnahkan dari kehidupan kita. Semoga saja hati kita tergerak untuk melakukan sesuatu untuk memperbaiki secara kongkrit. 

Kalau hingga saat ini kita hanya bisa tetap berdiam diri, ada apa dengan moral kita sebagai manusia beragama? 



Kamis, 24 April 2014

Don't let your eyes and ears only be witness to these crimes!

Arist Merdeka Sirait was showing the photos of the suspects of child sex abuse in Jakarta International School. Photo by Viva News on April 16,2014


It’s difficult to fathom that there have been three major child abuse cases in Indonesia, involving more than thirty children, since we began #CarolineHero movement backin February.

 

The most recently exposed tragedy is centered around contracted employees at the Jakarta International School who are accused of sexually abusing students in the schools bathrooms. It has come as a shock that these acts would occur within the "fortress" like school with all of it’ssecurity measures and procedures. How is it that child abuse still manages to existinside an institution that has beenmarketed as "your child's second home?”

 

Many debates will take place discussing who is the most responsible for thistragedy. The school, contracting company, teachers, Education Ministry, or even the parents. This issue has national media attention, but the information isn’t clear and often conflicting, so what should we focus on?  Simply pointing fingers at each other, playing the blame game, ultimately doesn’t do anything more than create dramatic TV and boost revenue for news stations.

 

Let’s start with what we know for sure.  Child abuse, in whatever form (physical, emotional, sexual, etc)has been happening around us all of this time even though evidence supports that many, if not most, of these cases were preventable.

 

We need to ask ourselves many questions such as…  Have we lost our sense ofmorality? Do we still care about what's happening around us when it does notseem to impact us directly? Is the issue ofsexual abuse considered too taboo to be discussed with children? Have the police and the law makers done enough to prevent these predators from roaming freely to recommit these evil acts?  Are we willing to acknowledge when abuse takes place and provide meaningful support to the victims?

 

There are still other questions, some of which society hasn’t come up with answers for, buthere are also solutions for many of the problems we face.

 

Child abuse occurs in many forms, both physical and psychological based.  Child abuse is often committed by the very people who are closest to the children. These predators take advantage of their position and the innocence and trust of the children. Child abuse cases often occurwithin the family circle.  It can happen once or repetitively.  It takes place regardless of economic and social class.

 

Whether a habitual act or one time event, the impact to the victims can take many forms and there is no, “one size fits all,”therapy. The scars, both physical and psychological, are life long and sadly it can even lead to generational abuse where the victims grow up to be predators.

 

We should ask ourselves if this will be justanother sad story in the news that we quickly forget about or will we take a stand, demanding and participating in social changes to protect our children?

 

Child sex abuse is not just an unfortunate and random event. Child sex abuse is by and far preventable.  Education and awareness, open discussion, reporting,victim rights, enforcing laws, and just punishment all play a part in addressing this tragedy.

 

Indonesian Child Protection Law states thata person guilty of child sex abuse will be imprisoned for a maximum of fifteen years. Is this an appropriate punishment andeffective deterrent against abuse?  What is the rate of prosecution, the averagesentence?  Is this law effective?

 

Whatever the punishment, it will never be enough if society at large only act as TV spectators when they view cases such asthat involving the Samuel Orphanage children, Iqbal, and JIS.

 

What can we do? There are at least two areas that we can easily contribute to, in order to prevent this from happening again:

 

1. Communicate with our children, inform them about private body parts and inappropriate touchingMake sure that they will never be too frightened or ashamed to come forward if something makes themuncomfortable.  While we should all takereasonable measures for the safety of our children, in the end they must learn how toidentify wrongs and protect themselves.

 

2. Be alert and ready to act when it comes to helping, protecting, and saving others in need. As hard as it is, reporting what happens to the police or child protectionorganizations must be done, not just to help the current cases, but to expose unreported abuse.

 

If each of us has the commitment to carry out these responsibilities then the window of opportunity for the predators will shrink. Don’t just sit on the sidelines. Get involved.  It’s your community and you should and can make a positive difference.

 

Many organizations have been involved directly in providing child protection such as the National Commission of Child Protection (KomNas PA), Indonesian Commission of Child Protection (KPAI) or other independent organizations that dedicate themselves to this path. But they can only act on what they know about and it is very evident that their efforts are not enough without our continuous supportand involvement.

 

One action is fighting for legal change.  As an example there is a petition requesting alonger period  (> 15 years) of jail time for a person found guilty of committing child sex abuse.  The link is below.

 

Komisi VIII DPR: HUKUM Pelecehseksual/Pemerkosa/predator seksualanak2 seberat2nyaRevisi UU No. 23 tahun2002! 5-15thn tidaklah cukup.

 

 

 

 

 

Komisi VIII DPR: HUKUMPeleceh seksual/Pemerkos...

VERSI INDONESIA: HUKUM Pelecehseksual/Pemerkosa/predator seksual anak2seberat2nyaRevisi UU No. 23 tahun 2002!5-15thn tidaklah cukup. D...

 

 

 

 

Preview by Yahoo

 

 

 

In conclusion, we, as a society aren’t doing enough to prevent child abuse.  Enough is enough! Don't let your eyes and ears only be witness to these crimes.  Speak up, take action, educate and be involved.  Our children desperately need our help.

 

Evil wins when good people do nothing - #CarolineHero

Minggu, 20 April 2014

Jangan Biarkan Mata Telinga Jadi Saksi Lagi



Sumber Photo: Viva News 16 April 2014
Telah banyak kekerasan terhadap anak dan pelecehan seksual kepada anak di bawah umur yang terjadi selama ini, tapi kami tidak pernah menduga bahwa dalam kurun waktu di bawah 3 bulan sejak kami mulai menuliskan blog #CarolineHero ini, sudah ada 3 peristiwa besar yang memakan lebih dari 30 anak yang media beritakan berhubungan dengan kasus kekerasan dan/atau pelecehan seksual terhadap anak. Belum lagi tragedi yang tidak diangkat oleh media. 

Berita terbaru mengenai  hal ini adalah adanya anak TK yang menjadi korban sodomi di Jakarta International School. Tentunya berita ini sangat mengejutkan karena kami ingat bagaimana ketatnya syarat-syarat untuk masuk ke sekolah tersebut. Pernah kami bercanda mengatakan bahwa masuk ke sekolah itu seperti masuk imigrasi Amerika yang tidak hanya penjagaan dari petugasnya yang ketat,tetapi juga adanya kamera CCTV yang dipasang di mana-mana. Tapi mengapa masih bisa terjadi kejahatan yang sangat mendasar di sebuah institusi di mana anak semestinya mendapatkan tempat paling aman selain di rumah mereka sendiri? 

Pihak sekolah mungkin menjadi pihak pertama yang akan dituntut untuk bertanggung jawab dan biasanya akan menjadi perdebatan siapa yang harus bertanggung jawab. Bahkan, isu ini bisa semakin memanas hingga akhirnya fokus dari insiden ini sudah jauh melenceng menjadi drama dan pertengkaran di televisi maupun sosial media semata. 
Lalu apa fokus dari tragedi ini? 

Kekerasan dan pelecehan seksual anak sudah terjadi berulang kali dan mengapa hal ini bisa terjadi berulang kali? Apa penanggulangannya? Hingga kapan?

Apakah kesadaran kita sebagai manusia dewasa sudah begitu  rendahnya? 
Atau mata dan hati kita sudah tertutup, tidak peduli terhadap kejadian-kejadian seperti itu terutama bila tidak berhubungan dengan kita? 
Atau karena isu ini terlalu tabu untuk dibicarakan antara orang tua dan anak hingga anak harus mengalami hal yang buruk? 
Apakah pihak yang berwenang selalu membiarkan predator-predator itu bebas lepas dan bisa melakukannya lagi? 

Mungkin masih banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan dan kemungkinan  memang tidak hanya satu jawabannya. 

Kalau ditelusuri lagi, kekerasan atau pun tindakan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur itu banyak ragamnya. Dari yang melalui kata-kata hingga tindakan secara fisik. Bahkan tidak mengherankan kalau pelaku / predator nya adalah orang yang tinggal satu atap dengan korban. Anak yang lugu pun biasanya tidak tahu bahwa selama ini menjadi korban, karena dipikiran anak, memang pantas-pantas saja bila orang dewasa melalukannya ke mereka. Orang dewasa dianggap orang yang lebih tahu dan lebih benar dari anak itu sendiri. Jadi kejadian kekerasan maupun seksual sebenarnya sangat lah mudah terjadi dikalangan paling dekat dengan anak bahkan di keluarga sendiri. Kejadian nya bisa hanya sekali, bisa juga berulang kali, bisa terjadi di kalangan miskin papa maupun yang hidup berlimpah. Kekerasan anak maupun pelecehan seksual ini tidak memandang latar belakang.  Kemungkinan besar pelakunya dari latar belakang ekonomi bawah yang mempunyai keterbatasan pengetahuan maupun sarana keamanan dari anak-anak tersebut, tapi tidak menutup kemungkinan pelaku pun mempunyai latar belakang dari ekonomi menengah ke atas. Apapun latar belakangnya, sangat menyedihkan orang-orang ini bisa mempunyai hati untuk memangsa anak-anak yang tak berdaya. 

Dampak yang dialami korban pun bermacam-macam. Tidak bisa kita seragamkan begitu saja baik aspek penyebab maupun solusi ke depannya. Apa yang dilakukan kepada sang anak mungkin tidak diingat sama sekali oleh predator nya. Kejadiannya mungkin di bawah 5 menit, tapi bisa menjadi luka dan trauma yang dalam bagi korban seumur hidupnya. Lalu pertanyaannya, apakah hal ini akan menjadi salah satu cerita yang tidak ada habisnya di dalam kehidupan bermasyarakat kita? Hal buruk bisa terjadi disekitar kita, tapi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur bukanlah suatu hal yang kebetulan dan tidak dapat dihindarkan. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, orang yang melakukan pelanggaran kekerasan terhadap anak maupun pelecehan seksual bisa dihukum selama 5-15 tahun penjara. Apakah kurun waktu tersebut cukup untuk membuat predator jera atau berpikir dua kali untuk melakukannya? 
Apapun hukumannya, tidak akan cukup bila masyarakat hanya berdiam diri dan hanya berstatus sebagai penonton di depan TV saat ada berita yang memilukan seperti kejadian yang menimpa anak2 panti Samuel, Iqbal maupun anak yg bersekolah di JIS. 

Dua hal paling sedikit yang kita perlu lakukan  sebagai kontribusi kita untuk mencegah terulangnya kejahatan seperti itu di kemudian hari. 
1. Ciptakan komunikasi dan berilah pengetahuan ke anak-anak kita mengenai hal ini. Orang tua, guru, saudara dan orang-orang dewasa lain bisa melakukan usaha melidungi, tetapi pada akhirnya, anak itu sendirilah yang merupakan pertahanan pertama dari serangan para predator-predator itu. 
2. Marilah kita mengambil sikap waspada dan siaga untuk setiap waktu dimana perlu kita bergerak,  membela, melindungi, menyelamatkan  korban dengan melaporkan kepada yang berwenang ataupun ke organisasi-organisasi yang berkecimpung di bidang ini,  sehingga pihak berwenang dan pemerintah pun akan lebih serius dalam penanganan dan predator akan gentar untuk melakukannya. 

Bila masing-masing dari kita mempunyai rasa tanggung jawab untuk melakukan dua hal di atas, maka ruang gerak dari predator ataupun yang berpikir untuk mencari korban pun menjadi semakin sempit. Mungkin sebagian dari kita akan menganggap terlalu ambisius apabila kita bermimpi untuk menghilangkan predator dari muka bumi ini, tapi sama jahatnyalah kita dengan predator itu bila kita tidak berbuat apa-apa dan membiarkan predator ini lepas bebas dan bisa melakukan hal yang sama lagi, sebagaimana yang kami katakan: Iblis menang saat orang berdiam diri. - #CarolineHero.

Ada beberapa organisasi di Indonesia yang telah turun tangan langsung untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak, seperti Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas PA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atau pun pihak-pihak independen yang telah berdedikasi di jalur ini, tapi terbukti usaha dari mereka ini tidak cukup. Kita sebagai masyarakat perlu membantu apa yang sudah organisasi-organisasi ini lakukan. 

Saat ini ada petisi yang menuntut agar hukuman terhadap predator lebih berat dari 5-15 tahun. Marilah kita dukung petisi ini dan kita desak agar pihak berwenang tidak berhenti menangani kejahatan ini. 

https://www.change.org/id/petisi/komisi-viii-dpr-hukum-peleceh-seksual-pemerkosa-predator-seksual-anak2-seberat2nya-revisi-uu-no-23-tahun-2002-5-15thn-tidaklah-cukup

Akhir kata, sudah selayak dan sepantasnya kejahatan ini dihapuskan sampai di sini saja, janganlah biarkan mata dan telinga kita menjadi saksi dari kejahatan-kejahatan seperti ini di kemudian hari. 

--------------
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 80

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000.
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.
(3) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.  

Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 dan paling sedikit Rp 60.000.000
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Sabtu, 12 April 2014

Apakabar Anak-Anak Panti Samuel?


Hari Sabtu tanggal 29 Maret, 2014, kami mengunjungi anak-anak Panti Asuhan Samuel di Rumah Aman yang dikelola oleh RSPA dibawah Departemen Sosial. Tujuan dari kunjungan kali ini selain karena kangen, kami juga ingin mengetahui kondisi mereka saat ini.

Rumah aman ini lokasinya di dalam arena kompleks bangunan beberapa bangunan bentuk rumah sederhana yang ditumbuhi rumput dan pepohonan rimbun, sangat menyejukan dan memberikan kesan bahwa tempat ini memang dirawat dengan baik. 

Kami bertemu dengan Ibu Yuni dan beberapa staff di Rumah Aman yang dengan terbuka memberikan informasi mengenai keadaan anak-anak tersebut. Maksud terbuka di sini adalah mereka mau menceritakan keadaan apa adanya mengenai suka duka anak-anak Panti Asuhan Samuel yang harus banyak beradaptasi di tempat yang baru. 
Contohnya, banyak dari anak Panti Samuel yang sudah terbiasa tidur di lantai tanpa kasur atau alas saat mereka berada di Panti Sameul. Jadi saat mereka pindah ke Rumah Aman, pengasuh harus berulang kali masuk ke kamar mereka untuk memindahkan anak-anak yang memilih tidur di lantai. Ini hanya salah satu contoh yang sangat sederhana yang mungkin tidak terpikirkan bahwa urusan tidur saja ternyata perlu perhatian khusus. 

Apakah Rumah Aman merupakan tempat yang ideal untuk anak-anak Panti Asuhan Samuel? 
Mungkin saja tidak, karena tempat ideal adalah rumah sendiri yang dipenuhi kasih sayang dari orang tua ke anak-anak.

Apakah Rumah Aman bisa menjamin bahwa anak-anak akan mendapatkan pendidikan ataupun kebutuhan yang cukup hingga mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab? 
Tentunya tidak ada yang menjamin atau bisa tahu bagaimana nasib anak-anak di kemudian hari.  Kita hanya bisa berusaha dan berharap yang terbaik, selayaknya kita juga mengharapkan anak-anak kita sendiri untuk menjadi orang yang mempunyai masa depan yang baik. 

Tapi yang pasti, Rumah Aman, merupakan tempat yang jauh lebih layak bagi anak-anak tersebut di mana mereka dirawat, diberikan makan dan minum secara teratur, dibiasakan hidup dengan aturan yang ada seperti kebersihan, kesopanan dan disiplin. 

Tak dapat kami pungkiri betapa senang hati kami dapat bercengkerama,  dari berbincang-bincang, makan, photo-photo atau hanya tertawa memperhatikan tingkah laku mereka yang lucu. Layaknya anak-anak, tentu ada saja yang bertengkar, tetapi kami lihat bagaimana mereka memiliki rasa solidaritas dan saling melindungi yang cukup tinggi antara satu dengan yang lainnya, terutama kakak terhadap adiknya. Kakak yang besar bisa memarahi adiknya bila salah, tapi juga melindungi tanpa pamrih bila adiknya perlu pertolongan. Hal positif lain yang kami lihat, bahwa anak-anak Panti Asuhan Samuel sudah mulai dapat berinteraksi dengan anak-anak penghuni Rumah Aman lainnya. 

Kegembiraan bagi kami adalah ketika kami datang disambut dengan senyuman dan sapaan baik dari mereka semua. Di lain sisi, kami tetap mempunyai perasaan sedih setiap bertemu mereka, karena permasalahan yang tengah mereka hadapi belum selesai. Anak-anak ini ditemukan dalam kondisi terluka baik secara fisik maupun batin. Secara perlahan sebagian luka fisik akan sembuh dan mungkin hilang tanpa bekas, tetapi tidak dengan luka batin. Mereka mengalami luka batin yang luar biasa sehingga untuk mengetahui berapa lama proses penyembuhannya pun tidak bisa diprediksi. Namun, kami percaya bahwa mereka saat ini sudah berada di tempat yang jauh lebih baik untuk mereka memulai menata kembali kehidupan yang lebih layak. Dan kami hanya bisa mengharapkan yang terbaik untuk mereka. 

Apa yang kami lihat membuat kami tersenyum, miris, terharu dan terinspirasi, bahwa anak-anak seperti mereka yang sudah mengalami kekerasan dalam kehidupannya, tetap masih bisa mempunyai hati dan kebaikan yang mereka bagikan antar mereka sendiri layaknya kakak adik kandung. Anak-anak panti Samuel harus banyak belajar mengenai tata krama maupun pelajaran sekolah yang sudah banyak tertinggal, tapi tanpa mereka sadari, mereka juga merupakan guru dan teladan yang patut kita contoh tentang arti kasih sayang yang tulus dan kekompakan satu sama lain tanpa melihat latar belakang, agama dan suku.




Sabtu, 29 Maret 2014

Apakah Pemerintah Memberikan Perlindungan Terhadap Anak?

Kronologi Evakuasi

Anak-anak panti Samuel dievakuasi oleh bapak Arist Merdeka Sirait dari Komnas Perlindungan Anak secara bertahap, dimulai dari tanggal 24 Pebruari 2014. Sejak itu, mereka diserahkan ke Rumah Aman yang dikelola sepenuhnya oleh pemerintah, Rumah Perlindungan Sosial Anak (RSPA), dibawah naungan Departemen Sosial. 

Bila mengikuti hati nurani,  para simpatisan #CarolineHero tentunya mendukung anak-anak ini diselamatkan dan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Dan ternyata memang sudah ada Undang-Undang di negara kita yang melindungi kehidupan anak-anak sehinggal peristiwa panti asuhan Samuel semestinya tidak pernah dan tidak akan terjadi lagi.  
Lalu mengapa kekerasan terhadap anak ini masih banyak terjadi bahkan menjadi topik yang sangat populer? 

Karena aturan resmi seperti Undang-undang haruslah dijalani tidak hanya satu pihak. 
Ada 3 pihak yang bertanggung jawab agar anak-anak dapat tumbuh dengan layak. 
1. Orang tua/wali yang berlaku sebagai orang tua
2. Pemerintah dan Penegak hukum
3. Kita sebagai komunitas/masyarakat

Di bawah ini ada beberapa Undang-Undang yang secara resmi mengatur masalah perlindungan anak. 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak & Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 

BAB III 
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK
Pasal 13. 
(1) Setiap Anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: 
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; 
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan 
f. perlakuan salah lainnya. 

BAB V 
KEDUDUKAN ANAK 
Bagian Kesatu Identitas Anak

Pasal 27. 
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya. 
(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya. 

BAB XI 
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN
Bagian Kelima. Perlindungan Khusus

Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. 

Pasal 66
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonmi dan/atau seksual sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. 
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui:
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan /atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan 
c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dari/atau seksual. 
(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 


Sumber: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak & Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.